GCG (Good
Corporate Governance)
Perkembangan konsep corporate
governance sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum isu corporate
governance menjadi kosakata paling hangat di kalangan eksekutif bisnis.
Banyak terdapat definisi yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang corporate
governance, yang diberikan baik oleh perorangan (individual) maupun institusi (institutional).
Adapun institusi yang memberikan definisi atas corporate governance antara
lain adalah Forum for Corporate Governance in Indonesian (FCGI)
danOrganizaton for Economic Cooperation and Development (OECD).
Berikut
beberapa definisi GCG baik menurut institusi maupun individu:
a.
FCGI mendefinisikan corporate governance yang disadur dari Cadbury
Committee of United Kingdom sebagai:
…..Seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara Pemegang Saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Tujuancorporate governance ialah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
(FCGI, 2006)
b.
ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama
yaitu accountability, transparency, predictability dan participation.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia.
Menurut lembaga tersebut, GCG merupakan suatu proses serta struktur yang
digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke
arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang, tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
c. Bank
Dunia memberikan definisi GCG sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan
kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber
perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi
jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat
sekitar secara keseluruhan. (Effendi, 2008)
d. Sementara
Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola
organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi
secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip
terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.
Lantas
bagaimana dengan definsi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah,
governance kerap diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’. Adapun dalam konteks GCG,
governance sering juga disebut ‘tata pamong’ atau penadbiran – yang terakhir
ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu
berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah
GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dalam terminologi
manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam
bahasa Indonesia yang benar.
Kemudian,
GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah
kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan
norma yang berlaku.
Dari
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG
merupakan :
*
Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan
Komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan para stakeholder lainnya.
* Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan
yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan
penyalahgunaan aset perusahaan.
* Suatu prose yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,
berikut pengukuran kinerjanya.
Pemicu
Timbulnya Corporate Governance.
Timbulnya
berbagai skandal besar yang menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris
maupun Amerika Serikat pada tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah
dan pengambilalihan perusahaan secara agresif lebih menyadarkan orang akan
perlunya sistem tata-kelola ini. Bagaimanapun juga dalam suatu perusahaan
selalu saja terjadi pertarungan antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab
kolektif, dan inilah sentral dari pengaturan yang menjadi obyek corporate
governance. Suatu lembaga itu tidak mempunyai jiwa, sedangkan yang mempunyai
adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya, yang dipengaruhi oleh interaksi dalam
mengejar kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Pada
tahun 1992 misalnya masyarakat industri otomotif Jepang mengkritik industri
otomotif Amerika Serikat yang memberikan gaji terlalu tinggi pada para
eksekutifnya. Bahkan ketika resesi pada tahun 1989, gaji mereka terus meningkat
sebesar rata-rata 6,7% sedangkan nilai pemegang saham pada waktu yang sama
merosot sebesar 9%. Untuk itu diperlukan suatu tata-kelola perusahaan yang
jelas dan bertanggung jawab.
Tadinya
faham corporate governance hanya berkembang di negara-negara berbahasa Inggris
seperti Inggris dan Amerika, tetapi segera pula berkembang di negara-negara
lain.
Prinsip-prinsip
Corporate Governance dan Pedoman Pokok Pelaksanaan
GCG
diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan
konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung
oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai
regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa dunia usaha. (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006)
Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar
adalah:
1. Negara
dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim
usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan
perndang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law
enforcement).
2. Dunia
usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan
usaha.
3. Masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak
dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial
(social control) secara obyektif dan bertanggung jawab. (Komite Nasional
Kebijakan Governance, 2006)
Banyak
negara sudah berusaha mengembangkan dan memperbaiki sistem dunia usahanya
dengan memasukkan prinsip-prinsip corporate governance. Hal tersebut
dilakukan antara lain, baik dengan mengacu kepada pedoman atau standar yang
secara internasional dibuat ataupun dengan mendirikan dan membentuk komite atau
badan tersendiri yang antara lain berfungsi membuat pedoman corporate
governance. Misalnya Bank Dunia, Organization of Economic Cooperation
and Development(OECD), California Public Employees Retirement System (CalPERS)
dan di Indonesia adalah Forum For Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
yang merupakan lembaga-lembaga yang telah memberikan perhatian yang besar
terhadap corporate governance dan telah mengeluarkan suatu pedoman.
Di Indonesia juga telah dibentuk suatu komite yang membidangigood corporate
governance, yakni Komite Nasional Kebijakan Governance(KNKG).
Tujuan
dari dibentuknya KNKG ini adalah untuk menjaga kesinambungan program corporate
governance sehingga dapat menarik minat berusaha dan berinvestasi,
pengusaha domestik maupun internasional. Komite Nasional mengembangkan suatu
rekomendasi tentangcorporate governance yang meliputi: a) pembuatan
pedoman good corporate governance, termasuk mensosialisasikan pedoman
tersebut, b) struktur dan mekanisme peraturan untuk membantu pelaksanaan
pedoman tersebut, c) membantu pendirian institusi-institusi, baik permanen
maupun sementara untuk membantu pelaksanaan pedoman.
Prinsip-prinsip
Dasar Corporate Governance
Sejak
diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governancetersebut
dijadikan acuan oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi semua negara atau perusahaan dan dapat diselaraskan dengan sistem
hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing. Bagi para
pelaku usaha dan pasar modal prinsip-prinsip ini dapat menjadi guidance atau
pedoman dalam mengelaborasi best practicesbagi peningkatan nilai (valuation)
dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan.
Prinsip-prinsip OECD mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perlindungan
terhadap hak-hak Pemegang Saham (The rights of shareholders and key
ownership functions)
Adapun
hak-hak Pemegang Saham yang dimaksudkan disini adalah hak untuk (1) menjamin
keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau memindahkan saham
yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan
secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam rapat
umum pemegang saham, dan (5) memilih anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta
(6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. Kerangka yang dibangun dalam
suatu negara mengenai corporate governance harus mampu melindungi
hak-hak tersebut.
2. Perlakuan
yang setara terhadap seluruh Pemegang Saham (Equitable treatment of
shareholders)
Seluruh
Pemegang Saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan penggantian atau
perbaikan (redress) atas pelanggaran dari hak-hak Pemegang Saham. Prinsip ini
juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam
satu kelas, melarang praktek-praktek perdagangan orang dalam (insider trading)
dan mengharuskan anggota Direksi untuk melakukan keterbukaan apabila menemukan
transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).
Kerangka yang dibangun oleh suatu negara mengenai corporate governance harus
mampu menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh Pemegang Saham,
termasuk Pemegang Saham minoritas dan asing.
3. Peranan stakeholders yang
terkait dengan perusahaan (The role of stakeholders)
Kerangka
yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
memberikan pengakuan terhadap hak-hakstakeholders seperti yang ditentukan
dalam undang-undang, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan
dengan parastakeholders tersebut dalam rangka menciptakan kesejahteraan,
lapangan kerja, dan kesinambungan usaha. Hal tersebut diwujudkan dalam
bentuk mekanisme yang mengakomodasi peran stakeholdersdalam meningkatkan
kinerja perusahaan. Perusahaan juga diharuskan membuka akses informasi yang
relevan bagi kalangan stakeholders yang ikut berperan dalam proses corporate
governance.
4. Keterbukaan
dan transparansi (Disclosure & transparency)
Kerangka
yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
menjamin adanya pengungkapan informasi yang tepat waktu dan akurat untuk setiap
permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Dalam pengungkapan informasi ini
termasuk adalah informasi mengenai keadaan keuangan, kinerja perusahaan,
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Di samping itu informasi yang
diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang
berkualitas tinggi. Manajemen perusahaan juga diharuskan meminta auditor
eksternal melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan
perusahaan untuk memberikan jaminan atas penyusunan dan penyajian informasi.
5. Akuntabilitas
Dewan Komisaris (The responsibility of the board)
Kerangka
yang dibangun di suatu negara mengenai corporate governance harus
menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap
manajemen yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dan Direksi, serta akuntabilitas
Dewan Komisaris dan Direksi terhadap perusahaan dan Pemegang Saham. Prinsip ini
juga memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan
Direksi beserta kewajiban-kewajiban profesionalnya kepada Pemegang Saham dan stakeholders lainnya.
Berdasarkan
prinsip-prinsip dasar GCG di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat)
unsur penting dalam corporate governance (OECDBusiness Sector
Advisory Group on Corporate Governance, 1998), yaitu:
1. Fairness (Keadilan)
Menjamin
perlindungan hak-hak para Pemegang Saham, termasuk hak-hak Pemegang Saham asing
serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
2. Transparency (Transparansi)
Mewajibkan
adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat
diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan
kepemilikan perusahaan.
3. Accountability (Akuntabilitas)
Menjelaskan
peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan
kepentingan manajemen dan Pemegang Saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan
Komisaris (dalam two tiers system)
4. Responsibility
(Pertanggung jawaban)
Memastikan
dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya
nilai-nilai sosial. (FCGI, 2006)
BUMN
menambah satu lagi prinsip tersebut yaitu:
5. Independency (Independensi)
Memastikan
tidak adanya campur tangan pihak diluar lingkungan perusahaan terhadap
berbagai keputusan yang diambil perusahaan.