Keuangan
negara & pengawasan
Menurut
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dalam pasal 34 UU tersebut diatur bahwa Menteri/Pimpinan
Lembaga/Gubernur/Bupati/ Walikota yang terbukti melakukan penyimpangaan
kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN / Peraturan Daerah
tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Selain itu pada pasal 35 dinyatakan bahwa setiap pejabat negara
dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan
mengganti kerugian tersebut. Pengawasan adalah segala tindakan atau
aktivitas untuk menjamin agar pelaksanaan suatu aktivitas tidak menyimpang dari
rencana yang telah ditetapkan. Tujuan utama pengawasan bukan untuk mencari kesalahan,
melainkan mengarahkan pelaksanaan aktivitas agar rencana yang telah ditetapkan
dapat terlaksana secara optimal. Sedangkan ditemukannya kesalahan merupakan
akibat terjadinya penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan. Oleh karena
yang dimaksud pengawasan keuangan negara tidak hanya mencakup pelaksanannya
saja, namun sudah harus dimulai sejak tahap penyusunan sampai dengan tahap
pertanggungjawaban keuangan negara tersebut. Harus kita akui bahwa dalam
pengelolaan keuangan negara memang masih terdapat kebocoran yang diakibatkan
oleh korupsi, manipulasi dan tindak penyelewengan lainnya. Oleh karena
aspek-aspekpengawasan menjadi sangat penting dan harus selalu ditingkatkan dari
waktu ke waktu. Pemerintah sebenarnya cukup responsif terhadap pentingnya
pengawasan keuangan negara. Hal ini tercermin dari tekad Pemerintah untuk
mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa serta penegakan hukum
disiplin bagi para penyeleweng.
Peraturan
/ Regulasi
Peraturan /
ketentuan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya
telah cukup banyak, namun kurang berjalan secara efektif, sehingga ada
sinyalemen yang bernada sinis, bahwa peraturan sekedar peraturan namun
penyelewengan malah meningkat dan semakin berani secara terang-terangan. Salah
satu contoh peraturan tersebut adalah Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Dalam UU tersebut antara lain dijelaskan bahwa korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tindak pidana korupsi, kolusi adalah permufakatan atau
kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara
Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan
atau negara, sedangkan nepotisme adalah setiap Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Mekanisme
pengawasan
Pada
hakekatnya, mekanisme pengawasan keuangan negara dapat dibedakan atas dua hal
yaitu pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Biasanya pengawasan intern
meliputi pengawasan supervisi (built in control), pengawasan birokrasi serta
pengawasan melalui lembaga-lembaga pengawasan intern. Pada pengawasan supervisi
(pengawasan atasan terhadap bawahan) masing-masing pimpinan setiap unit
diwajibkan melakukan pengawasan keuangan negara terhadap para bawahan yang
menjadi tanggungjawabnya. Adanya pengawasan yang dilakukan secara bertingkat ini,
diharapkan adanya penyimpangan dari kebijakan (ketentuan) yang telah
ditetapkan, dapat diketahui sedini mungkin (early warning system). Adapun
pengawasan birokrasi yaitu pengawasan melalui sistem dan prosedur administrasi.
Perlu diketahui bahwa negara kita masih menggunakan sistem anggaran garis (line
budgeting system) atau disebut sistem anggaran tradisional. Sistem ini hanya
menitik beratkan pada segi pelaksanaan dan pengawasan anggaran. Dari segi
pelaksanaan yang dipentingkan adalah kesesuaian (compilance) antara besarnya
hak dengan obyek pengeluaran dari tiap-tiap Departemen atau lembaga negara.
Sedangkan dari segi pengawasan yang dipentingkan adalah kesahihan (validitas) bukti-bukti
transaksi atas pembelanjaan anggaran tersebut. Sistem pembukuan yang berlaku di
negara kita masih menggunakan sistem administrasi kas yaitu menerapkan tata
buku tunggal (single entry bookkeeping) berdasarkan metode dasar tunai (cash
basis). Oleh karena itu yang langsung dapat diketahui adalah masalah transaksi
kas atau penerimaan dan pengeluaran kas saja, sehingga untuk mengetahui
prestasi (kinerja) yang dicapai dibalik hasil transaksi kas tersebut diperlukan
analisis lebih lanjut. Hal ini untuk mengetahui apakah transaksi kas tersebut
telah efisien dan efektif sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pada
saat ini Pemerintah sedang menyelesaikan konsep sistem akuntansi / pembukuan
keuangan negara yang mengacu pada basis akrual dengan modifikasi (modified
accrual basis). Penulis berharap agar konsep tersebut dapat segera diselesaikan
dan segera dapat diterapkan pada pembukuan keuangan negara baik di Pusat maupun
di Daerah. Adanya perbaikan sistem administrasi / pembukuan keuangan negara
tersebut diharapkan dapat mencegah upaya KKN. Namun perlu diketahui bahwa
sistem sebagus apapun, apabila manusia sebagai pelaksana bermental korup, maka
sistem tersebut tidak dapat berperan banyak, maka perbaikan moral / akhlaq bagi
penyelenggara negara lebih penting dan perlu mendapatkan perhatian.
Aparat
Pengawasan
Pengawasan
melalui lembaga-lembaga pengawasan intern dilakukan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen / Unit
Pengawasan Lembaga dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) untuk Daerah Tingkat I
& II (Propinsi dan Kodya/Kabupaten). BPKP berfungsi melakukan koordinasi
atas seluruh pengawasan intern Pemerintah. Pengawasan ekstern dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat / Daerah (DPR/D) ,
media masa beserta lembaga atau anggota masyarakat lainnya.Seperti diketahui bahwa
untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu BPK yang
keberadaanya diatur dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1973. Sesuai dengan UUD
1945 pasal 23 ayat 5, maka hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK
tersebut harus diberitahukan kepada DPR. Dengan diterimanya hasil pemeriksaan
tahunan (Haptah) oleh DPR dari BPK tersebut, maka DPR dituntut untuk membahas
dan mengkajinya dengan sungguh-sungguh. Mengingat Haptah ini bukan untuk
kalangan internal DPR saja, maka DPR harus mengkomunikasikan dan
mensosialisasikan kepada masyarakat (publik) sebagai wujud akuntabilitas
publik. Dalam hal ini DPR harus dapat menyampaikannya dengan bahasa yang tepat,
artinya bukan dengan bahasa audit yang penuh dengan angka-angka namun dengan bahasa
politis yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Selain itu DPR tidak perlu
menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya, namun harus transparan, misalnya
apabila suatu Departemen terdapat penyelewengan (korupsi dll) maka perlu
disampaikan kepada masyarakat, sehingga publikdapat mengetahui kinerja
Pemerintah yang sebenarnya.Peranan media massa atau pers dalam pengawasan
keuangan negara juga sangat penting, maka Pemerintah harus memperhatikan suara
pers dengan saksama tanpa negative thinking yang berlebihan. Apabila hal ini
dapat berjalan maka pers tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi saja,
namun juga berfungsi untuk melakukan pengawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar